Secara garis besar, Imam al-Ghazali dalam kitab faishal al-tafriqah merekomendasikan agar seorang muslim tidak gegabah dalam jastifikasi stigmatik terhadap muslim lainnya yang berbeda pendapat dengannya. Dalam hal ini beliau tampaknya ingin menyarankan menampung keragaman pendapat itu terlebih dahulu, kemudian dikaji secara ilmiah. Hal ini barangkali bertujuan agar seseorang terhindar dari penilaian yg berdasar pada prasangka-prasangka yg sama sekali tidak dibenarkan dalam agama.
Imam al-Ghazali mengemukakan pendapat, seorang muslim hendaknya tidak gegabah mengkafirkan orang yang masih menggunakan semisal ka’bah sebagai kiblat shalatnya. Kalaupun ada perbedaan, maka sedapat mungkin dicari penyelesaian. Paling jauh yang bisa dilakukan jika perbedaan pandangan benar-benar tidak bisa didamaikan adalah menyatakannya sesat atau bid’ah. Itupun dalam pengertian hanya ungkapan untuk menyatakan pemikiran yang lain itu tidak sesuai dengan pemikiran yang dianutnya.
Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah (Garis pemisah antara Islam dan Ateis/zindiq) ini hadir sebagai pembelaan atas inovasi dan kebebasan intelektual serta kritik keras terhadap kebekuan dalam tradisi mazhab.
Ada beberapa hal menarik, dari kebanyakan pandangan terkait doktrin ahlussunnah wal jamaah. Dalam konteks ini khususnya berkenaan hadis iftiraq, yang memuat keterangan tentang umat Islam terpecah menjadi 73 golongan.
Kitab Faishal al-Tafriqah ditulis Al-Ghazali sekitar tahun 1106 M. Sehingga hampir bersamaan dengan al-Munqidz min al-Dhalal yang memuat risalah pembelaan diri Al-Ghazali untuk berbeda pandangan dari rekan sejawat ulama Asy’ariyah pada zamannya.
Diceritakan, waktu itu Wazir atau menteri Dinasti Saljuq, Fakhr al-Mulk—penerus Nizham al-Mulk—mendesak Al-Ghazali untuk kembali menjadi guru besar Madrasah Nizhamiyah di Nisyapur. Desakan Fakhr al-Mulk, yang tak mungkin ia tolak, menimbulkan dilema moral kepada al-Ghazali. Apalagi konsekuensinya, ia harus aktif dalam dunia politik dan kehidupan akademis yang ia bersumpah akan meninggalkannya. Al-Ghazali tak bisa mengelak desakan wazir. Maka begitulah, ia diangkat menjadi guru besar Madrasah Nizhamiyah. Tak lama kemudian menjadi sasaran serangan para ulama Nisyapur yang anti terhadapnya.
Berbagai tuduhan dialamatkan kepada Al-Ghazali. Mulai dari penyimpangan paham Asy’ariyah dalam beberapa karyanya seperti Ihya’ Uluumuddin, Misykat al-Anwar, dan lain sebagainya. Bahkan, hingga tuduhan keji lain yang menganggap Al-Ghazali sering meminjam ajaran filsuf Muslim Al-Farabi dan Ibnu Sina. Waktu itu, Al-Farabi dan Ibnu Sina pemikirannya banyak disadur oleh Syi’ah Isma’iliyah. Keduanya juga merupakan musuh politis dan ideologis Dinasti Saljuq yang berkuasa. Walhasil muncul kemudian tuduhan Al-Ghazali seorang penganut Isma’iliyah yang sesat dan kafir. Sehingga dinilai tak pantas sebagai guru besar Madrasah Nizhamiyah.
Al-Ghazali menulis Faishal al-Tafriqah sebagai pem-belaan atas tuduhan itu. Dalam prolog yang dengan berapi-api, Al-Ghazali menyerang penuduhnya sebagai “orang-orang dengki” yang “mentah dan dungu.” Para penyerangnya ia tuduh dengan ungkapan berikut: “Sebagai orang-orang yang tuhannya adalah nafsu; sesembahannya adalah para raja. Arah kiblatnya dinar dan dirham. Syariatnya adalah kecerobohan dan pemujaan terhadap jabatan dan kekayaan. Ibadahnya adalah pengabdian kepada mereka yang berpunya. Zikirnya adalah bisikan-bisikan setan. Tafakurnya adalah pencarian muslihat-hukum demi menuruti hasrat ragawi mereka.”
Ia mencurahkan keseluruhan isi Faishal al-Tafriqah untuk membicarakan isu ‘takfir’. Ada argumentasi indah yang Al-Ghazali disampaikan dalam kitab ini : “Bila para ulama berbeda pendapat, mengapa salah satu di antaranya dicap kafir sementara yang lainnya tidak? Apa tolok ukurnya? Jika Al-Baqillani merumuskan teori tentang sifat Tuhan yang berbeda dari pemikiran Al-Asy’ari, mengapa Al-Baqillani yang mesti dicap kafir bukan Al-Asy’ari? Lalu, bila misal alasannya karena senioritas Al-Asy’ari, bukankah para pemikir Mu’tazilah lebih senior daripada Al-Asy’ari? Lalu bila misal alasannya adalah keutamaan moral atau intelektualitas, dengan tolok ukur apa kita menimbang kelebihan dan kekurangan para ulama?
Berdasarkan polemik itu, pertanyaan muncul, bagaimana kita membedakan seorang muslim dan kafir? Al-Ghazali menjawab pertanyaan ini dengan rumusan sederhana. Seorang muslim adalah orang yang percaya kepada apapun yang Nabi Muhammad risalahkan. Sementara itu, predikat kafir adalah yang menolak untuk percaya itu. Ini berarti bahwa seorang Muslim adalah seorang yang percaya serta membenarkan (tashdiq) ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan seorang kafir adalah yang tidak mau mempercayainya.
Silakan download PREVIEW Terjemah FAISHAL AL-TAFRIQAH BAINA AL-ISLAM WA AL-ZANDAQAH